ASAL-USUL RAJA BUGIS
Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi
Selatan berasal dari To Manurung (orang bunian) manusia yang berasal
dari langit turun ke bumi. To Manurung ini turun membawa segala
kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan
Sulawesi mengalami tiga kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
Peristiwa pendaratan pertama:
Dipercaya bahwa mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah
“Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di atas puncak gunung
Latimojong. Ketika itu daratan Sulawesi masih tergenang air. Hanya
puncak gunung Lompo Battang yang mencuat di sebelah selatan dan puncak
gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tomboro Langi kemudian
memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia.
Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus
tunduk padanya.
Tamboro langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu
seorang gadis yang muncul dari busa air Sungai Saddang. Puteranya yang
sulung bernama Sandoboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah
yang membangun tiga buah Kerajaan besar, yakni: di Ronjong asal mula
Kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya Kerajaan Bugis, dan di Gowa asal
mulanya Kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban,
setelah keturunannya mengalami kejayaan, Kerajaan-Kerajaan itu pun
mengalami kemunduran dan berakibat kekacauan.
Untuk mengatasai
kekacauan ini, pendaratan kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih
seorang laki-laki yang bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We
Nyilitomo. Puteri dari Pertiwi (Bumi Bawah). Dan memperoleh putera yang
diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu menikah dengan We Opu Sengngeng,
puteri dari Masyrik. Dari pernikahan mereka ini, maka lahirlah puteranya
yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah Kerajaan
besar (negara) yaitu Kerajaan Luwu di Palopo, yang dibawahnya terdiri
dari Kerajaan-Kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat.
Seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Wajo, Bone, Gowa, ternate dll.
Kejayaan Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum, tujuh
turunan lamanya tidak ada raja di Sulawesi Selatan yang memerintah.
Sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
Pendaratan ketiga pun terjadi. Namun pendaratan kali ini terdapat
beberapa orang to manurung sekaligus beberapa tempat di tanah yang
berbeda-beda. Seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi
pokok asal raja-raja yang memangku Kerajaan hingga saat ini.
Lalu
bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro langi’ merupakan era
pemerintahan absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi;
rakyat Cuma tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa to
manurung ke tiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi, meskipun
diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “makkeda tenri
bali, mette tenrisumpulang”. Artinya: “berkata tidak dapat dilawan,
menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan Absolute Monarchi; apa
yang dikatakan raja itulah yang terjadi.
Namun sedikit berbeda
ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika to Manurung menjejakkan
kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapa
To Manurung dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakkulle nipela,
punna buttayya angkaeroki”. Artinya: “Anak kami, istri kami, hanya dapat
disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak disini,
sifat-sifat demokrasi mulai muncul dan berkembang ketika itu. bahwa
seorang raja tidak bisa berbuat seamunya saja tanpa persetujuan adat.
Hal ini terbukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng
Bontolangkasa, raja Gowa XIII (1590-1593) diterjang ombak pemberontakan
oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau
“diusir” dari kerajaannya pada tahun 1593.
sumber.Majalah Makassar Terkini
0 komentar:
Posting Komentar